MAKALAH
REVOLUSI MENTAL DAN NAWA CITA SERTA PENDIDIKAN
KARAKTER DI INDONESIA
Disusun
Oleh:
KELOMPOK
VII
Ai
Nurhasanah 20148300230
Hariyatik 20158310347
Siti Aminah 20148300204
Tri Elis Pangestuti 20148300197
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
STKIP KUSUMA NEGARA
JAKARTA
2015
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur penyusun panjatkan kepada
Allah SWT, berkat limpahan rahmat, kemudahan, dan karunia-Nya, sehingga
Makalah Pendidikan Karakter Bangsa yang berjudul “REVOLUSI MENTAL DAN NAWA CITA SERTA PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA”
ini dapat penyusun selesaikan sebagai bahan untuk sumber belajar di dalam
kelas.
Makalah
ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan
Karakter Bangsa (PKB). Dalam makalah ini berisi tentang revolusi mental, visi
misi pemerintahan Jokowi dan bukti di lapangan serta pendidikan karate yang ada
di Indonesia.
Penyusun
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Maka dari
itu, penyusun minta kritik dan sarannya yang bersifat membangun untuk ke arah
yang lebih baik lagi ke depannya.
Akhirnya,
penyusun menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
penyusunan makalah ini mohon maaf tidak bisa disebutkan satu persatu.
Jakarta, Oktober 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ....................................................................
2
DAFTAR ISI ....................................................................
3
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang ....................................................................
4
B. Rumusan
Masalah ....................................................................
5
C. Tujuan
Penyusunan ....................................................................
5
BAB 2 PEMBAHASAN
A.
Revolusi Mental dan
Nawa Cita....................................................................
6
B. Pendidian
Karakter di Indonesia...................................................................
10
BAB 3 PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................
16
B. Saran ....................................................................
16
REFERENSI ....................................................................
17
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Indonesia adalah salah satu negara yang
tengah dilanda krisis multidimensi yang berkepanjangan. Ketika Negara-negara
lain (Thailand, Korea Selatan, Malaysia, dan lain-lain) telah bangkit dengan
segera setelah mengalami krisis moneter yang melanda Asia pada tahun 1997,
Indonesia sampai saat ini masih terus mengalami krisis, dan masih kelihatan
suram untuk bangkit dari keterpurukan. Krisis ini sebenarnya mengakar pada
menurunnya kualitas moral bangsa atau lemahnya mentalitas dan hancurnya
karakter generasi muda.
Tantangan globalisasi yang ada di
hadapan kita merupakan hal yang tak bisa diingkari. Revolusi teknologi,
transportasi, informasi, dan komunikasi menjadikan dunia ini tanpa batas. Kita
bisa mengetahui sesuatu yang terjadi di belahan benua lain dalam hitungan detik
melalui internet dan lain-lain.
Pengetahuan dan teknologi menjadi garda
depan yang harus diprioritaskan dalam era globalisasi. Jepang, Singapura,
Malaysia, Korea Selatan sudah berlari tunggang langgang untuk mengejar
ketertinggalan dan mengubah diri tidak hanya sebagai penonton pasif, tapi juga
actor kreatif yang ikut dalam proses kompetensi ketat globalisasi.
Menurut M. Mastuhu (2007: 49-50),
globalisasi memberi peluang bagi siapa saja yang mau dan mampu memanfaatkannya,
baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepantingan manusia lainnya.
Menurut A. Qodri Azizy (2004: 26), kata kunci globalisasi adalah kompetensi.
Lalu bagaimana dengan bangsa Indonesia sendiri disaat semua Negara berpacu dan
berlomba membuat teknologi secanggih mungkin untuk mengimbangi globalisasi,
Indonesia malah sibuk dengan permasalahan dan semakin terpuruk.
Globalisasi sudah menembus semua penjuru
dunia, bahkan sampai daerah terpencil sekalipun, masuk ke rumah-rumah,
membombardir pertahanan moral dan agama, sekuat apa pun dipertahankan.
Televise, internet, Koran, handphone, dan lain-lain adalah media informasi dan
komunikasi yang berjalan dengan cepat, menggulung sekat-sekat tradisional yang
selama ini dipegang sekuat-kuatnya.
Moralitas menjadi melonggar. Sesuatu
yang dulu dianggap tabu, sekarang menjadi biasa-biasa saja. Cara berpakaian,
berinteraksi dengan lawan jenis, menikmati hiburan di tempat-tempat special dan
menikmati narkoba menjadi tren dunia modern yang sulit ditanggulangi.
Globalisasi menyediakan seluruh fasilitas yang dibutuhkan manusia, positif
maupun negative. Banyak manusia terlena dengan menuruti semua keinginannya,
apalagi memiliki rezeki melimpah dan lingkungan kondusif.
Akhirnya, karakter bangsa berubah
menjadi rapuh, mudah diterjang ombak, terjerumus dalam tren budaya yang
melenakan, dan tidak memikirkan akibat yang ditimbulkan. Prinsip-prinsip moral,
budaya bangsa, dan perjuangan hilang dari karakteristik mereka. Inilah yang
menyebabakan dekadensi moral serta hilangnya kreativitas dan produktivitas
bangsa. Sebab, ketika karakter suatu bangsa rapuh maka semangat berkreasi dan
berinovasi dalam kompetensi yang kekat akan mengendur, dan mudah dikalahkan
oleh semangat konsumerisme, hedonism, dan pesimisifisme yang instan dan
menenggelamkan.
Oleh karena itu, pemerintahan Jokowi
membuat sebuah gebrakan dalam masa pemerintahannya yaitu tentang Revolusi
Mental yang ada dalam poin ke delapan dalam Nawa Cita, khusunya revolusi mental
dalam dunia pendidikan. Karena pendidikan adalah awal dari generasi muda yang
berkarakter. Program ini diharapkan mampu mengubah dan membenahi karakter
bangsa Indonesia. Namun, saat ini revolusi mental ini sedang menjadi sorotan
dan menjadi pertanyaan khalayak umum.
Berawal dari permasalahan di atas, maka
penyusun membuat makalah yang berjudul “REVOLUSI
MENTAL DAN NAWA CITA SERTA PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA” untuk
mendalami tentang Revolusi mental dalam dunia pendidikan itu sendiri.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan
masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
revolusi mental?
2. Bagaimana
nawa cita?
3. Bagaimana
pendidikan karakter di Indonesia?
C.
Tujuan
Penyusunan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah
ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk
memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Karakter Bangsa.
2. Untuk
mengetahui revolusi mental.
3. Untuk
mengetahui nawa cita.
4. Untuk
mengetahui pendidikan karakter di Indonesia.
BAB
2
PEMBAHASAN
A.
Revolusi
Mental dan Nawa Cita
Mendengar
kata revolusi mental bukanlah hal yang baru bagi bangsa Indonesia, karena
sebelumnya presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno telah mencetuskan ini.
Namun, belakangan ini kata revolusi mental tengah hangat menjadi topic
pembicaraan di beberapa media. Karena kata revolusi mental ini menjadi jargon
atau program pemerintahan presiden Jokowi yang tertuang dalam nawa cita poin ke
delapan. Nawacita adalah istilah umum yang diserap dari bahasa Sanskerta, nawa
(sembilan) dan cita (harapan, agenda, keinginan).
Seiring dengan
kemenangan Bapak Joko Widodo dan Yusuf Kalla dalam pilpres 9 Juli 2014, maka
tampaknya kita akan memasuki era perubahan yang siknifikan (semoga) melalui
kosep REVOLUSI MENTAL yang dicanangkan oleh Presiden Baru periode 2014-2019
itu. Konsep revolusi mental nampaknya dapat menjadi sebuah harapan yang bisa
kita terapkan untuk membangun mental masyarakat Indonesia yang kuat.
Revolusi mental ditujukan untuk pembangunan manusia dan pembangunan sosial.
Pembangunan
manusia melingkupi 3 dimensi, yaitu sehat, cerdas, berkepribadian. Sehat
berarti dimulai dengan fisik kita yang senantiasa fit dan bugar. Cerdas
berarti mengarah pada otak kita yang selalu berpikir dan diasah sehingga
memiliki kemampuan analisis yang tajam dan berkualitas. Sedangkan
berkepribadian adalah kaitannya dengan kehendak yang berbudi pekerti
luhur. Perlunya revolusi mental adalah karena penyakit seperti
emosi/mental/jiwa akan berdampak pada individu berupa malasnya seseorang dan
tidak mempunyai karakter. Kemudian dampaknya akan menular kepada
masyarakat yang ditandai dengan gangguan ketertiban, keamanan, kenyamanan,
kecemburuan sosial, dan ketimpangan sosial. Lebih jauh lagi, akan
berdampak negatif pada bangsa dan negara. Bangsa kita akan lemah dan
menjadi tidak bermartabat. Kemudian produktivitas dan daya saing kita
menjadi rendah.
Cukup menarik
ketika revolusi mental adalah jembatan menuju Indonesia yang
berkepribadian. Dimulai dari diri sendiri, menjadi manusia cerdas dengan
metode belajar yang serius, terus berlatih, memanfaatkan prasaran dan sarana
yang sudah tersedia (sambil berharap pemerintah memperbaiki/melengkapinya),
meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan belajar, serta membiasakan
budaya membaca. Menjadi manusia sehat jasmani dengan menjaga kesehatan
diri dan pemeliharaan lingkungan. Karena substansi revolusi mental ada
pada pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan, pendidikan berbudi pekerti
luhur, serta pendidikan demokrasi dan sadar hukum.
1.
Pengertian Revolusi Mental
Revolusi (dari bahasa latin revolutio,
yang berarti "berputar arah") adalah perubahan fundamental (mendasar)
dalam struktur kekuatan atau organisasi yang terjadi dalam periode waktu yang
relatif singkat. Kata kuncinya adalah Perubahan dalam Waktu Singkat.
Revolusi
mental merupakan
suatu gerakan seluruh masyarakat baik pemerintah atau rakyat dengan cara yang
cepat untuk mengangk kembali nilai-nilai strategi yang diperlukan oleh Bangsa
dan Negara untuk mampu menciptakan ketertiban dan Kesejahteraan rakyat sehingga
dapat memenangkan persaingan di era globalisasi.
Revolusi mental mengubah cara
pandang, pikiran, sikap dan perilaku yang berorientasi pada kemajuan dan
kemoderenan, sehingga menjadi bangsa besar dan mampu berkompetisi dengan
bangsa-bangsa lain di dunia.
Berikut
ini pendapat tentang revolusi mental menurut Bung Karno sebagai pencetus dan
menurut Joko Widodo:
a.
Bung Karno : Revolusi mental merupakan satu gerakan untuk
menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang putih,
berkemampuan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api menyala-nyala.
b.
Joko Widodo : Usaha lebih memperkokoh kedaulatan,
meningkatkan daya saing dan mempererat persatuan bangsa, Kita perlu melakukan
Revolusi Mental.
2.
Tiga Pokok Permasalahan Bangsa
a.
Merosotnya wibawa bangsa
b.
Lemahnya sendi perekonomian bangsa
c.
Intoleransi dan krisis kepribadian bangsa.
3.
Visi dan Misi Pemerintahan Jokowi –
JK
Visi:
“Terwujudnya Indonesia yang berdaulat, Mandiri, dan
Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”
Misi:
a.
Mewujudkan keamanan nasioanal yang mampu menjaga kedaulatan
wiliyah, menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumberdaya mariti, dan
mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai Negara kepulauan.
b.
Mewujudkan masyarakat maju, berkesinambungan dan demokratis
berlandaskan Negara hukum.
c.
Mewujudkan politik Luar Negeri dan memperkuat jatidiri
sebagai Negara maritim.
d.
Mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi,
maju dan sejahtera.
e.
Mewujudkan Bangsa yang berdaya saing.
f.
Mewujudkan Indonesia menjadi Negara maritime yang mandiri,
maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional.
g.
Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dan kebudayaan.
4.
Sembilan Agenda Prioritas (Nawa
Cita)
Adapun
9 agenda prioritas (Nawa Cita)
a.
Menghadirkan kembali Negara untuk melindungi segenap dan
memberikan rasa aman pada suluruh warga Negara.
b.
Membuat Pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola
Pemerintah yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya.
c.
Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat
daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara kesatuan
d.
Menolak Negara lemah dengan melakukan reformasi system dan
penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya.
e.
Meningkatka kualitas hidup manusia.
f.
Mewujudkan melalui
peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program Indonesia Pintar,
Indonesia Kerja dan Indonesia Sejahtera.kemandirian ekonomi dengan menggerakkan
sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
g.
Meningkatkan
produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional.
h.
Melakukan revolusi
karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan
nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang
menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah
pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela
negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia.
i.
Memperteguh ke-bhinekaan
dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat
pendidikan ke-bhinekaan.
5.
Tujuan Revolusi Mental
Adapun
tujuan revolusi mental adalah sebagai berikut:
a.
Mengubah cara pandang, piker dan sikap, perilaku dan cara
kerja.
b.
Membangkitkan kesadaran dan membangun sikap optimistic
c.
Mewujudkan Indonesia yang berdaulat, berdikari dan
berkprebadian.
6.
Delapan Prinsip Revolusi Mental
a.
Bukan proyek tapi gerakan social.
b.
Ada tekad politik untuk menjamin kesungguhan pemerintah.
c.
Harus bersifat lintas-sektoral.
d.
Bersifat partisipasi (kolaborasi pemerintah, masyarakat
sipil, sector privat, dan akademisi)
e.
Diawali dengan pemicu.
f.
Desainn program harus ramah pengguna, popular, menjadi
bagian dari gaya hidup dan sistemik-holistik (bencana semesta)
g.
Nilai-nilai yang dikembangkan bertujuan mengatur kehidupan
social (moralitas public)
h.
Dapat diukur dampaknya.
7.
Tiga Nilai Tevolusi Mental
a.
Integrasi (jujur, dipercaya, berkarakter, bertanggung jawab)
b.
Etos kerja (etos kerja, daya saing, optimis, inovatif dan
produktif)
c.
Gotong royong (kerja sama, solidaritas, komunai,
berorientasi pada kemaslahatan)
8.
Strategi Internalisasi 3 Nilai
Revolusi Mental
a.
Jalur birokrasi
Internalisasi 3 nilai revolusi mental pada
Kementrian/Lembaga melalui:
1)
Pembentukan tugas gugus dan pic
2)
Tersusunnya program, kegiatan nyata berbasis nilai-nilai
revolusi mental.
3)
Menjadi contoh tauladan (role model)
b.
Jalur swasta
1)
Memperkuat kemitraan antara pengusaha kecil dan pengusaha
besar.
2)
Inseftif pengurangan pajak bagi pengusaha Indonesia yang
mengembangkan produk local inovatip.
3)
Instruksi presiden kepada pengusaha media untuk
berkolaborasi mempromosikan revolusi mental.
4)
Mengembangkan lembaga keuangan mikro di desa.
5)
Mendukung inisiatif uaha menengah membuka pasar/sentral yang
menjual produk local yang inovatif, kreatif dan harga terjangkau.
c.
Jalur kelompok masyarakat
1)
Pembudayaan 3 nilai revolusi mental dalam kelompok
masyarakat
2)
Membangun role model
3)
Aspirasi terhadap kelompok masyarakat
4)
Keteladanan oleh tokoh
d.
Jalaur pendidikan
1)
Memperkuat kurikulum pendidikan kewarganegaraan pada semua
jenjang, jenis dan jalur pendidikan untuk membangun integrasi, membentuk etos
kerja keras dan semangat gotong royong.
2)
Menerapka ekstra kurikuler
revolusi mental di sekolah.
3)
Meningkatkan sarana pendidikan yang merata.
4) Meningkatkan kompotensi guru dalam
mendudkung revolusi mental.
B.
Pendidikan
Karakter di Indonesia
“Sebuah bangsa sedang menuju
jurang kehancuran, ketika karakternya tergadai”
(Thomas Lickona, 1992)
Pendidikan karakter ini muncul sejak tahun
2010, pada masa itu menteri Pendidikan M. Nuh membuat kebijakan pendidikan di
Indonesia harus berkarakter guna melahirkan generasi emas Indonesia 2020. Hal dikarenakan
saat ini Indonesia mengalami krisis karakter, fenomena ini dapat kita lihat
dari dari potret pendidikan di Indonesia.
Persoalan praktik-praktik kebohongan dalam
dunia pendidikan mulai dari menyontek pada saat ujian sampai plagiarisme[1]
hak cipta dan perjokian Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) serta
praktik jual-beli izajah palsu. Jika sebagai peserta didik saja sudah terbiasa
dengan tipu-menipu alias manipulasi ujian, maka ketika nanti sudah lulus dan
bekerja akan kembali melahirkan para koruptor baru dan budaya korupsi tidak
akan pernah hilang di Negara kita.
Dunia pendidikan sangat bertanggung jawab
dalam meghasilkan lulusan-lulusan yang memiliki akademis bagus dan moral yang
baik. Walaupun pada kenyataannya potret pendidikan di Negara kita dari segi
akademis sangat bagus tetapi dari segi karakter ternyata masih bermasalah.
Siapa yang tidak mengelus dada ketika melihat seorang pelajar yang tidak punya
sopan santun, pendendam, mencontek, hobi narkoba, tawuran, membolos sekolah,
aborsi, berjudi bahkan bagus nilainya untuk “mata pelajaran” pornografi.
Contoh-contoh tersebut merupakan jenis kenakalan pelajar yang umum. Namun,
tidak menutup mata pelajar yang patut dibanggakan juga ada, seperti mereka yang
menjuarai olimpiade sains, baik ditingkat nasional maupun internasional.
Bahkan, ada pelajar Indonesia yang berhasil menjadi juara umum dalam International Conference of Young Scientists
(ICYS) atau Konferensi Internasional Ilmuan
Muda se-Dunia yang diikuti ratusaan pelajar SMA dari 19 negara di Bali
pada 12-17 April 2010.
Manakala Indonesia dikatakan oleh banyak
pihak sebagai negara yang soft nation
dan rapuhnya moral anak bangsa, pendidikan dituding gagal dalam menciptakan
sumber daya manusia berkualitas. Institusi-institusi pendidikan terutama
sekolah-sekolah dinilai gagal memenuhi tujuan pendidikan.
Kegagalan pendidikan di Indonesia
menghasilkan manusia yang berkarakter diperkuat oleh pendapat I Ketut Sumarta
dalam tulisannya yang berjudul “Pendidikan yang Memekarkan Rasa”. Dalam
tulisannya, Ketut Sumarta mengungkapkan bahwa pendidikan nasional kita
cenderung hanya menonjolkan pembentukan kecerdasan berpikir dan menepikan
penempatan kecerdasan rasa, kecerdasan budi, bahkan kecerdasan batin. Dari sini
lahirlah manusia-manusia yang berotak pintar, manusia yang berprestasi secara
kuantitatif akademik, tetapi tidak berkecerdasan budi sekaligus sangat
bertentangan tidak mandiri[2].
Dalam dunia pendidikan, terdapat tiga
ranah yang harus dikuasai oleh siswa, yaitu ranah kognitif, afektif, dan
psikomotrik. Ranah kognitif berorientasi pada ilmu pengetahuan dan teknlogi,
ranah afektif berkaitan dengan (sikap) attitude,
moralitas, spirit, dan karakter, sedangkan ranah psikomotorik berkaitan
dengan keterampilan bersifat procedural dan cenderung mekanis.
Dalam realitas pembelajaran di sekolah,
usaha untuk menyeimbangkan ketiga ranah tersebut memang selalu diupayakan,
tetapi pada kenyataannya yang dominan adalah ranah kognitif, kemudian
psikmotorik. Akibatnya adalah peserta didik kaya akan kemampuan bersifat hard skill, tetapi miskin soft skill karena ranah afektif
terabaikan. Gejala ini tampak pada output
pendidikan yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, pintar, juara kelas,
tetapi miskin kemampuan membangun relasi, kurang mampu berinteraksi dan
bekerjasama, cenderung egois serta menjadi pribadi yang tertutup.
Padahal, pendidikan pada esensinya
merupakan sebuah upaya membangun kecerdasan manusia, baik kecerdasan kognitif,
afektif, maupun psikomotorik. Oleh karena itu, pendidikan secara terus menerus
dibangun dan dikembangkan agar menghasilkan generasi yang unggul; unggul dalam
ilmu, iman dan amal. Ada pepatah mengatakan, “Jika engkau ingin melihat masa
depan suatu bangsa, lihatlah kondisi generasi penerusnya hari ini ”. Dengan
demikian, pembentukan karakter terbaik pada anak menjadi hal yang sangat
penting karena anak merupakan generasi penerus yang akan melanjutkan eksistensi
bangsa. Berbagai pendapat dari banyak pakar pendidikan anak, menyatakan bahwa
terbentuknya karakter kpribadian manusia ditentukan oleh factor nature dan nurture, dan tidak ada kata terlambat dalam membentuk karakter anak
bangsa.
Bangsa Indonesia pasti tidak ingin menjadi
bangsa yang tertinggal dan terbelakang. Berbagai upaya dilakukan pemerintah
untuk kemajuan dan memperbaiki kualitas bangsa, seperti, pembaharuan kurikulum,
peningkatan anggaran, atau standarisasi kompetensi pendidikan. Namun, usaha
tersebut dirasa masih belum mencapai hasil yang diharapkan sesuai tujuan
pendidikan itu sendiri. Tingginya biaya sekolah, buruknya fasilitas-fasilitas
sekolah di daerah-daerah pelosok, minimnya kesejahteraan dan kualitas guru,
melengkapi masalah bangsa ini.
Guna menghadapi kecanggihan teknologi dan
komunikasi yang terus berkembang, perbaikan sumber daya manusia juga perlu
terus diupayakan untuk membentuk manusia yang cerdas, terampil, mandiri dan
berakhlak mulia. Berbagai wacana pun santer disebarkan. Salah satuya adalah
wacana pendidikan karakter yang dianggap mampu memberikan jawaban atas
kebuntuan permasalahan dalam sistem pendidikan.
Kita sebenarnya sudah terlambat dalam
menerapkan pendidikan karakter, tetapi lebih baik terlambat daripada tidak sama
sekali. Ada yang mengatakan bahwa percuma menerapkan pendidikan karakter karena
negara kita sudah terlanjur banyak korupsi. Pemikiran tersebut merupakan pemikiran yang terlalu pesimis. Masih banyak
generasi muda kita yang duduk di bangku sekolah dan dengan butuh pendidikan
karakter agar di masa depan menjadi manusia yang tidak hanya cerdas secara
intelektual saja, tapi juga karakter. Dan lembaga pendidikan diharapkan dapat
menjadi motor penggeraknya serta guru diharapkan menjadi peran utamanya.
Lembaga pendidikan dan lembaga-lembaga
sosial lainnya di Indonesia memiliki beban yang sangat berat dalam menghadapi
pelemahan nilai, pelemahan moral dan orientasi kebangsaan seperti masalah cinta
tanah air, ikatan kebangsaan, solidaritas kebangsaan jatidiri bangsa dan lebih
luas lagi dalam membela martabat dan kedaulatan bangsa di tengah berbagai
ekspansi nilai-nilai luar yang memperlemah kebangsaan.
Menurut William Bernnett (1991), sekolah
merupakan sebuah lembaga pendidikan yang memiliki peran dan tanggung jawab
terhadap pembentukan karakter anak (character
building). Apalagi , bagi anak didik yang tidak mendapatkan pendidikan
karakter sama sekali di lingkungan dan keluarga mereka. Oleh karena itu, peran
dan kontribusi guru sangat dominan karena anak didik sangat membutuhkan
bimbingan sebab anak belum siap menghadapi problem yang terjadi di lingkungan
masyarakat. Sebagai sebuah lembaga, sekolah memiliki tanggung jawab moral untuk
mendidik anak agar pintar, cerdas, serta memiliki karakter positif sebagaimana
diharapkan setiap orang tua. Namun sekarang ini, banyak orang tua mengeluh
bahwa pendidikan karakter di sekolah telah diabaikan[3].
Tampaknya, hal tersebut disebabkan gagasan pendidikan karakter masih berada
dalam wilayah konsep semata yang terletak dibenak para pendidik dan pemerhati
pendidikan serta hanya menjadi komoditas isu pendidikan yang menjadi wacana[4].
Sekolah harus merespon kenyataan tersebut dengan membumikan gagasan pendidikan
karakter, yaitu dengan mengimplementasikan atau menerapkan gagasan pendidikan
karakter melalui berbagai strategi untuk membentuk peserta didik yang
berkarakter.
Tanpa karakter yang positif, seseorang
dengan mudah melakukan sesuatu apa pun yang dapat menyakiti atau menyengsarakan
orang lain. Oleh karena itu, kita perlu membentuk karakter untuk mengelola diri
dari hal-hal yang negative. Karakter yang terbangun diharapkan akan mendorong
setiap manusia untuk mengerjakan sesuatu sesuai dengan suara hatinya.
Pendidikan secara filosofis merupakan satu
kesatuan dengan kehidupan, yang menunjukan proses bagaimana manusia mengenal
diri dengan segenap potensi yang dimilikinya dan memahami apa yang tengah
dihadapinya dalam realitas kehidupan nyata (Suyanto,
2006: ix).
Pendidikan adalah proses yang memanusiakan
manusia[5] yang terus-menerus dialami sepanjang hayat.
Pendidikan mencakup segala aspek keseharian saat seseorang belajar, mengamati,
mendengarkan, membaca, menonton, bekerja dan lain sebagainya.
Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan
cara berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja
bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara dan membantu mereka untuk
membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan pada Pasal 3, yang berbunyi pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan
nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang harus dilaksanakan secara
sistematis. Hal ini berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik
sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi
dengan masyarakat.
Meninjau dari fungsi pendidikan itu
sendiri dan dilihat dari permasalahan yang ada, sebenarnya hal tersebuat
merupakan asal-usul adanya kurikulum 2013 atau disingkat dengan K13.
Pendidikan karakter di Indonesia sudah
diterapkan oleh beberapa sekolah atau lembaga pendidikan. Salah satunya system
Bourding School atau memadukan antara sekolah dan pesantren.
Selain itu, untuk yang hanya sekolah saja.
Sekolah membuat program sendiri tentang pendidikan karakter mulai dari kultur
sekolah, ekstrakulikuler yang dapat membangun karakter anak bangsa seperti
pramuka.
BAB
3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun dari pembahasan di atas
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Revolusi mental merupakan program pemerintahan Jokowi-JK yang tertuang
dalam Nawa Cita Point ke-8, dan untuk melaksanakan programnya Bapak Presiden
Joko Widodo membuat sebuah kebinet yaitu cabinet kerja.
2.
Pendidikan karakter ini merupakan aplikasi dari revolusi mental dalam
dunia pendidikan, mengingat banyak sekali permasalahan pendidikan dan
pendidikan sangat bertanggung jawab dalam melahirkan generasi yang berkarakter.
3.
Permasalahan yang saat ini di alami Indonesia, terutama koropsi.
Permasalahan ini dianggap bahwa pendidikan telah gagal menciptakan manusia
berkarakter. Inilah yang menjadi PR buat kita semua.
B. Saran
1.
Buktikan kepada masyarakat bahwa revolusi mental bukan hanya sekedar
jargon saat kampanye, tetapi merupakan sebuah tindakan nyata pemerintahan.
2.
Berilah pendidikan politik yang mendidik masyarakat bukan kekuasaan
partai politik.
3.
Pendidikan bukan hanya tanggung jawab sekolah tapi merupakan tanggung
jawab bersama. Kalaupun ada ketimpangan jangan salahkan semua kegagalan
sekolah, karena hal ini bukan hanya disebabkan factor sekolah.
REFERENSI
Djudjun
Djaenudin Supriadi, “Program Pendidikan Karakter di Lingkungan BPK
PENABUR
Jakarta,” dalam Jurnal Pendidikan
Karakter, Nomor 10, Tahun
ke
7, Juni 2008, hlm. 35.
Doni
Koesuma, Pendidik Karakter di Zaman
Keblinger (Jakarta: Grasindo, 2009),
hlm.
135.
Sofyan
Sauri, “Membangun Bangsa Berkarakter Nilai Iman dan Taqwa dalam
Pelajaran”,
dalam Makalah, disampaikan pada
Acara Seminar Nasional
Pendidikan
Karakter-Nilai
pada 28 Juli 2010 di Ruang Auditorium Sekolah Pascasarjana
Universitas
Pendidikan Indonesia.
Paparan
Deputi SDMK Penutupan Pra-Mesrenbabangnas 2015 Revolusi Mental.
Paparan
SESMENKO Revolusi Mental BAKOHUMAS
www.Wikipedia.com
//definisi nawacita
[1] . Ali Rohmad, Kapita Selekta
Pendidikan (Yogyakarta: Teras, 2004), hal. 149
[2] . Djudjun Djaenudin Supriadi, “Program Pendidikan Karakter di
Lingkungan BPK PENABUR Jakarta,” dalam Jurnal
Pendidikan Karakter, Nomor 10, Tahun ke 7, Juni 2008, hlm. 35.
[5] KH.E.S.Mubarok, dalam
pengajian tingkat 3 di Ruangan Majlis Nurul Fitroh.
okk
BalasHapusPaling tidak, tulisan ini sudah memuat gagasan sentral. Saya gunakan ini untuk kepentingan presentasi. Bagi penulis, Semoga tulisan ini menderma pada kepentingan pengembangan ilmu pengetahun. Trims dan sukses selalu...
BalasHapusthanks indah,,, mudah2an berguna bagi yang lainnya...
BalasHapusTulisannya baguss... Berbobot, dan runtut yg jelas,,, sukses selalu
BalasHapusterima kasih postingannya sangat bermanfaat bagi saya sebagai pendidik. Senang sekali punya anak bangsa seperti adik-adik ini yang berpikiran maju dan cinta tanah air. teruslah berkarya....
BalasHapusterima kasih atas tulisannya kak. saya mohon izin jadikan bahan presentasi ya! Sukses selalu!
BalasHapus